Oleh Deni Gartiwa
Pemimpin Redaksi Garut 60 Detik
GARUT – Prestasi pejabat publik di Kab. Garut mendapatkan penghargaan. Satu pertanyaan yang menggelitik,”sudah begitu baikkah wajah pelayanan publik di Garut?” Pertanyaan senada lainnya pun layak untuk mendapatkan jawaban, “sudahkah regulasi yang ada sepenuhnya telah di taati dengan baik oleh Badan Publik?
Memotret wajah pelayanan publik di Kabupaten Garut, mengingatkan kembali pada sistem kebijakan yang diterangkan David Easton. Dalam bukunya yang berjudul”The Political System“,Easton menerangkan bagaimana hubungan pemimpin dengan masyarakat harus terjalin dengan harmonis. Bagaimana setiap input (masukan) masyarakat atas penyelenggaraan pelayanan harus ditanggapi secara bijak. Sehingga, menghasilkan suatu output (evaluasi) atas penyelenggaraan pelayanan yang telah diberikan tersebut.
Dalam konteks pelayanan publik, teori yang disampaikan David Easton ini dapat pula disandingkan dari bagaimana hubungan penyelenggara (pejabat publik) dalam menindaklanjuti laporan/pengaduan masyarakat. Terhitung sejak tahun 2014-2019 Ombudsman Republik Indonesia telah menerima laporan/pengaduan masyarakat sebanyak 44.166 laporan. Hal ini, mengisyaratkan bahwa setiap aktivitas pejabat publik tidak luput dari sorotan maupun penilaian masyarakat. Ragam cara telah dilakukan agar publik sebagai pengguna layanan dapat berinteraksi dan mendapatkan hak-haknya ketika mengakses suatu pelayanan. Baik meliputi kepastian layanan yang berisikan persyaratan, jangka waktu, tarif hingga informasi publik lain yang menjadi haknya dapat diketahui tanpa sekat. Publik bahkan juga diperkenankan untuk menyampaikan laporan/pengaduan apabila pemberi pelayanan ingkar atas janjinya bahkan enggan untuk memberikan layanan. Disinilah, publik dapat untuk menagih janji-janji tersebut dan menuangkannya dalam laporan/pengaduan.
Sejalan dengan hal tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) melalui Permenpan Nomor 62 Tahun 2018 tentang Pedoman Sistem Pengaduan Pelayanan Publik Nasional mengintegrasikan pengelolaan pengaduan pelayanan publik melalui aplikasi LAPOR. Keberadaan LAPOR tentu menjadi angin segar bagi publik. Selain diberikan ruang kebebasan untuk melapor, Permenpan Nomor 62 Tahun 2018 ini juga memberikan kewajiban kepada pejabat publik untuk menyampaikan evaluasi atas pelayanannya.
Evaluasi ini bertujuan untuk menguji apakah suatu layanan telah diselenggarakan dengan baik. Sayang, evaluasi pada pengelolaan pengaduan masyarakat tidak menjadi suatu indikator utama untuk memberikan gambaran wajah pelayanan publik di suatu instansi. Pengelolaan pengaduaan seringkali diukur berdasarkan bagaimana respon yang diberikan pejabat publik tanpa mengkaji lebih lanjut muatan substansi penyelesaian aduannya. Hal ini tentu menjadi tanda tanya bagi publik. Laikkah para pejabat publik tersebut diberi tanda prestasi?
Ramai-ramai berburu prestasi sejatinya dimaknai sebagai pencapaian tertinggi atas kerja keras suatu instansi. Publik berhak mendapatkan solusi atas permasalahan yang diadukannya. Publik juga memiliki hak mempertanyakan kembali makna lahirnya regulasi yang ada. Lebih lanjut, publik juga memiliki hak untuk mendapatkan kepastian bahwa SP4N LAPOR! tidak hanya menjadi wadah, akan tetapi menjadi suatu sarana bagi pembina untuk memastikan bahwa tiap laporan/pengaduan yang masuk tidak hanya sekadar ditindaklanjuti instansi. Pembina dalam hal ini, tentu perlu mengkaji kembali apakah tindak lanjut yang diberikan oleh instansi telah menyentuh persoalan. Jika hal ini dilakukan dengan baik, tentu pengelolaan pengaduan oleh pejabat publik tidak lagi hanya seremoni atau semata pemenuhan hasrat untuk taat pada regulasi.
Tinggalkan Balasan